Sunday, February 26, 2012

Menghemat biaya hidup di Jerman

Dari obrolan bersama seorang kawan mengenai biaya hidup, aku tidak percaya kalau pengeluarannya per bulan cuma 200 EUR per bulan. Biaya kosnya 100 EUR per bulan. Jadi untuk makan, mandi, dan bersihin rumah tinggal 100 EUR per bulan.

***

Ini perhitungan biaya makan hemat di Jerman

  • roti lapis untuk 3 hari, seharga 29 s.d. 69 sen. JAdi sebulan habis 2,9 s.d. 6,9 EUR.
  • selai buah untuk seminggu, seharga 50 sen. JAdi sebulan habis 2 EUR.
  • Jus buah untuk 3 hari, seharga 55 sen. JAdi sebulan habis 5,5 EUR
  • Telur untuk 10 hari seharga 39 sen. Jadi sebulan habis 1,17 EUR

Total sebulan habis 15,57 EUR saja untuk makan.

Roti sumber karbohidrat. Selai buah dan jus buah sumber vitamin dan mineral. Telur sumber lemak dan protein.

Kalau masih merasa kurang gizi, cari aja keluarga Indonesia lokal. Siapa tahu ada acara undangan makan-makan. BTW, di universitas sering ada informasi makan gratis yang diselenggarakan oleh organisasi atau acara kultural. Selama di Bremen, aku sudah merasakan makanan Mesir, Iran, Mexico, Venezuela, Kamerun, Kenya, dll dari acara beginian.

***

Perhitungan biaya kebersihan hemat di Jerman

  • sabun batang 29 sen untuk 2 minggu mandi. Sebulan habis 58 sen. Bisa dihemat dengan jarang mandi. Jadinya sabun ini bisa bertahan 6 bulan.
  • shampoo 1 EUR untuk 1-2 minggu mandi. Sebulan habis 4 EUR maksimal. Kalau jarang mandi, shampoo ini bisa bertahan 3 bulan.
  • sabun cuci piring 2 EUR untuk 6 bulan. Sebulan habis 33 sen.
  • sabun cuci baju 6 EUR untuk 12 bulan. Sebulan habis 50 sen. 
  • sabun buat ngelap ini-itu, 3 EUR untuk 12 bulan. Sebulan habis 25 sen.
  • cairan pengepel lantai, 6 EUR untuk 12 bulan. Sebulan habis 50 sen

Total sebulan habis 6,19 EUR.

Sekali lagi, bisa dihemat dengan jarang mandi dan jarang bersihin rumah.

***

Gimana dengan beli baju, sepatu, dan celana?

Lu minta aja sama kawan-kawan yang buang baju, sepatu, celana kalau mau pulang habis ke Indonesia.

***

Gimana dengan meja, kursi, tempat tidur, selimut, lampu, piring, gelas, dan perabotan lainnya?

Lu minta aja sama orang-orang. Sama kaya minta pakaian di atas.

***

Gimana biaya telpon dan internet?

Lu kasih missed-call aja untuk minta ditelpon. Jadi biaya telpon bisa 0 EUR per bulan. Untuk internet, cari tempat tinggal yg internet sharingnya inklusif dalam sewa kos.

***

Gimana kalau mau ngontak keluarga dan teman di Indonesia?

Sebelum ke Jerman, lu harus mendidik mereka untuk kaga gaptek pakai Skype. Kalau gagal mendidik mereka, jangan ngontak mereka dan lebih baik ngobrol sama jeruk kalau kesepian.

***

Gimana dengan air, listrik, dan gas?

Carilah tempat kos yang inklusif air, listrik, dan gas dengan biaya flatrate/Pauschal. Kalau kaga inklusif, sebaiknya mandi dibatasi dengan 1 baskom air per hari. Cara mandi adalah dengan kain waslap (Waschlappen) dan sabun batang. Cara mandi ini biasa dilakukan di rumah sakit ketika diopname tapi juga dilakukan oleh banyak orang tua di Jerman dan Belanda. Listrik dan gas dihemat dengan cara tapa pati geni di rumah.  Belajar di kampus aja, jadi rumah hanya untuk tempat tidur yang kaga perlu lampu.

***

Gimana dengan asuransi kesehatan?

Kalau umur di bawah 30 tahun, asuransi kesehatan privat itu 33 EUR per bulan. Kalau cuma butuh asuransi untuk dapat visa, ikut asuransi di masa-masa sekitar perpanjangan visa. Setelah dapat visa, asuransi dibatalkan. Kalau kamu perempuan yang punya resiko hamil jangan coba-coba hidup di Jerman tanpa asuransi kesehatan.

***

OK, sekarang aku percaya bahwa memang bisa hidup di Jerman dengan biaya hidup di bawah 200 EUR per bulan. Bahkan di bawah 100 EUR per bulan kalau kaga perlu bayar kos.

Untuk biaya hidup lebih nyaman dan realistis di Jerman, bisa baca

  • Biaya hidupku di Bremen tahun 2011, di sini
  • Biaya hidup seorang dukun di Bremen, di sini
  • Biaya hidup Steve Tirta di Darmstadt, di sini
  • Biaya hidup Bayu Van Adam tahun 2011, di sini

 

Nürnberg, 26 Februari 2012

iscab.saptocondro

 

Tuesday, January 3, 2012

Mengapa aku tidak lanjut studi doktoral?

Di Indonesia, dikenal ada 3 tingkatan sarjana:

  • S1: sarjana
  • S2: magister, master,
  • S3: Doktor

Semua tingkatan harus ditempuh dengan studi. Sewaktu S1 di Bandung, Indonesia, aku harus mengikuti kuliah beserta ujian dan tugas-tugasnya, praktikum di laboratorium, kerja praktek di perusahaan, dan diakhiri dengan tugas akhir. Kebetulan aku kuliah di tempat yang benar mendidik orang menjadi Sarjana Teknik Elektro. Kebetulan lagi aku betul-betul membuat hardware ketika kerja praktek di industri, bukan sekedar merangkum manual alat seperti beberapa mahasiswa lain. Aku juga merasakan tugas akhir yang berurusan dengan bidangku, yaitu Control Engineering (Teknik Kendali). Dalam tugas akhir ini, aku meneliti secara mandiri. Konsultasi dengan dosen, aku cuma dapat teori umum, bukan praksis memakai alat. Teman diskusi tidak ada. Aku juga menurunkan rumus sendiri untuk setengah dari pekerjaanku dalam tugas akhir ini. Selain itu, aku tidak bisa menulis tugas akhir dengan baik dan benar, terutama bagian menulis referensi. Oleh karena itu, tugas akhirku ini tak kuunggah di internet. Akhirnya aku lulus. Kuhitung lama studiku, 5 tahun. Cum Laude tak kudapat melainkan kemelut (quote: Dhita Yudistira, seniroku dan mantan Ketua HME ITB).

 

Setelah S1, kuberencana lanjut studi S2. Kumimpikan di Jerman. Ternyata tidak mulus perjalanannya. Untuk mengejar impian ini, aku ikut kursus bahasa Jerman di Goethe Institute Bandung. Aku juga merasakan bekerja menjadi pengajar di SMA swasta di Bandung selama kira-kira 2 tahun. Kemudian menjadi pengajar di perguruan tinggi swasta di Semarang. Di Semarang, aku mengajar 1 tahun. Ternyata aku merasakan 3 tahun bekerja di lembaga pendidikan.

 

Suatu kebetulan terjadi. Lamaran beasiswaku kepada DAAD Jakarta dilirik. Aku dipanggil untuk wawancara. Aku datang dan diwawancara oleh 1 Profesor Jerman, 2 Doktor Indonesia lulusan Jerman, dan 1 orang pegawai DAAD. Profesor Jerman bertanya mengenai tugas akhir S1. Doktor Indonesia bertanya mengenai apa manfaat buat negara Indonesia kalau aku studi dengan beasiswa ini. Pegawai DAAD bertanya persiapan apa saja yang telah kulakukan untuk studi ke Jerman. Sebulan kemudian, di kala harus berteduh karena hujan deras, telponku berdering. Penelpon bertanya padaku, apakah aku mau menerima beasiswa DAAD. Aku jawab, ya.

 

Setelah mengikuti permainan tarik-ulur layang-layang dan ping pong di tempat kerjaku di Semarang :-), aku bisa lanjut studi S2 di Jerman. Dalam mengambil master di bidang otomasi di Bremen, aku harus mengikuti kuliah beserta ujiannya, praktikum di laboratorium, mengerjakan penelitian kecil (Project) dan penelitian besar (Thesis). Kecil dan besar berbeda hanya dalam jumlah kredit. Keduanya sama-sama sulit buatku. Penelitiannya dilakukan secara mandiri. Dan kemandirian ini membutuhkan disiplin tinggi dalam manajemen waktu dan memilah-milah paper. Ini yang berat buatku. Aku sudah lelah oleh ujian di Bremen. Ujiannya cuma boleh diulang satu atau dua kali jika tidak lulus (tergantung mata kuliah). Itu aturan Jerman. Kalau mengulang ujian dan tak lulus, itu artinya drop out. Dalam lelah ini, aku salah memilih topik karena pengen cepat lulus. Kemudian aku harus mengulang topik dari awal lagi. Ingin cepat, ternyata aku malah salah jalan.  Mengulang topiknya pun tanpa perlindungan beasiswa DAAD. Aku bekerja jadi buruh di gudang dan pabrik untuk membiayai sisa studiku. Akhirnya aku lulus master. Kuhitung aku studi 4,5 tahun hanya untuk gelar master.

***

Oh, ya, sesuai judul topik ini. Mengapa aku tidak lanjut studi doktoral?

Aku merenung, aku sudah menghabiskan 5 tahun S1, 3 tahun bekerja di lembaga pendidikan, 4,5 tahun S2. Totalnya, aku mendedikasikan hidupku 12,5 tahun untuk dunia pendidikan. Studi S3 bakal menambah masa hidupku di dunia ini lagi.

Aku sudah penat dengan kuliah dan dengan dunia pendidikan. Walau dalam diriku masih tersisa keinginan untuk mengajar. Tapi aku butuh suatu rehat untuk kesehatan jiwaku.

 

Studi S3 atau doktoral juga berarti suatu penelitian mandiri. Aku sudah dua kali gagal dalam penelitian mandiri. Sewaktu S1 di Bandung, kerja praktek dan tugas akhir memperpanjang lama studiku. Sewaktu S2 di Bremen, project dan thesis juga membuat kelulusanku lambat. Aku butuh suatu istirahat dari dunia penelitian di lembaga pendidikan tinggi.

 

Oh, ya, status dosenku juga hilang ketika aku sedang menjalani studi master di Bremen. Aku mendapat email di hari ulang tahunku, tepat ketika aku bangun pagi hari dan membuka komputer. Untuk menambah rasa ini, sorenya, cintaku kandas via telpon. Di saat aku stress karena salah memilih topik project di Bremen, aku mendapat dua hadiah ulang tahun ini. Hal ini sempat membuatku mengobrol dengan jeruk.

 

Tiga dosenku di Bandung berkata tentang studi doktoral atau S3. Studi ini hanya cocok untuk dosen dan mereka yang hidup di dunia penelitian, kata Pak Eniman Syamsudin. Beliau mengajarku Sistem Kendali, suatu mata kuliah yang membentuk identitasku sebagai seorang Control Engineer. Selain itu, Beliau mendidikku menjadi orang jujur dan berintegritas. Dosen kedua, Pak Armein Langi menulis tentang beda S1, S2, dan S3. Menurutnya pendidikan S3 itu untuk menghasilkan peneliti. Pendidikan ini hanya cocok untuk orang yang punya keinginan menghasilkan dan MENULIS pengetahuan baru. Beliau ini dulu memberi kuliah Pengolahan Sinyal Digital yang sempat kuhadiri sekali. Terakhir, Pak Budi Rahardjo membuatku merenung tentang perlu-tidaknya mengambil studi S3. Studi S3 hanya membuang waktu kalau tidak punya "passion" atau gairah dalam penelitian. Selain itu, Beliau juga berkata kalau ingin S3, pilihlah tempat yang memiliki promotor (pembimbing), infrastruktur dan lingkungan yang mendukung. Infrastruktur itu maksudnya fasilitas (alat, laboratorium, perpustakaan, akses jurnal, dll). Lingkungan maksudnya teman diskusi dan "network". Penelitian berkembang dalam jejaring peneliti. Komunitas peneliti biasanya mengadakan konferensi atau seminar serta menerbitkan jurnal penelitian.

 

Aku menyadari bahwa teman diskusi itu penting dalam dunia penelitian. Dulu di Bandung, aku bisa dapat hal-hal berguna dalam penelitian ketika aku berdiskusi dengan kawan-kawan, terutama Eka Suwartadi. Di Semarang, tiba-tiba aku sulit bergerak karena tiadanya rekan diskusi. Di Bremen, ada beberapa mahasiswa doktoral asal Indonesia yang senang mengajak diskusi. Karena diskusi inilah, ide-ide penelitian bermunculan serta paper ilmiah karangan mereka bisa tajam karena diasah oleh kritik. Kawan diskusi lokal juga berguna buat makan-makan bareng dan nyanyi bareng. Tentu saja makan bareng mereka diselingi obrolan bermutu yang bisa mengisi jiwaku. Mereka juga membuatku untuk masih memiliki keinginan untuk lanjut doktoral.

***

Akhirnya kupilih tak lanjut studi doktoral. Aku ingin membuka mataku untuk dunia lain di luar dunia pendidikan. Aku juga terlalu lelah untuk studi lagi. Mentalku belum siap untuk penelitian mandiri. Apakah aku tidak suka dunia penelitian? Tidak! Saat ini, aku bekerja di bagian penelitian dan pengembangan pada perusahaan komponen kendaraan bermotor. Ternyata aku tidak jauh-jauh dari dunia penelitian. Beberapa rekan kerjaku di sini juga ada yang bergelar Doktor. Saat ini, aku tak sudi lanjut S3 tapi entah apa yang terjadi 5 tahun lagi.