Tuesday, January 27, 2009

Pengalamanku dengan Beasiswa

Pengalamanku dengan Beasiswa



Suatu hari di bulan Agustus 1998.


Aku mengantri di Gedung Serba Guna (GSG) ITB. Aku telah lulus UMPTN dan mendaftarkan diri di Jurusan Teknik Elektro ITB. Aku datang jam 10 siang, karena telat bangun. Lalu kena deh antrian panjang. Aku harus membulat-bulati formulir dengan pensil 2B. Dari nama, tanggal lahir, asal sekolah, hingga suku harus diisi. Sialnya ketika foto dicap, ada cap kena gambar muka yang hasilnya aku harus pakai Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang gambar mukanya kaga jelas selama 5 tahun. Aku dapat NIM 13298140, yang artinya

1, pendidikan Sarjana S1

3, Fakultas Teknologi Industri

2, Teknik Elektro

98, angkatan 1998

140, aku pendaftar urutan ke-140 untuk jurusan Teknik Elektro

Nah, setelah melalui meja 1 (ambil formulir), meja 2 (masukkan formulir terisi, foto dicap, plus syarat administratif), sampailah aku pada meja 3 (keuangan). Di meja ini aku ditagih uang pendaftaran, SPP-PRP (aku lupa singkatan apa), dll. Aku lalu memohon beasiswa dari ITB. Lalu orang tersebut menyuruhku ke meja lain. Aku menuruti kata-katanya, dan di sana seorang dosen memberi formulir yang harus kuisi. Aku isi form itu dan dia bilang tunggu surat. Kemudian aku melanjutkan ke meja-meja lain lalu selesailah acara pendaftaran dan aku bisa keluar GSG.

Beberapa hari kemudian, aku dapat surat yang menyuruhku pergi ke BAK (B Administrasi Akademik, waktu itu masuknya melalui Villa Merah). Aku dapat pembebasan SPP. Jamanku dulu uang kuliah di ITB:

SPP Rp 225.000,-

PRP Rp 225.000,-

Lain-lain Rp 22.500,- hingga Rp 25.000,-

Total Rp 475.000,-


Karena aku dapat semacam beasiswa (pembebasan SPP) dari ITB, maka selama 4 tahun aku hanya membayar Rp 250.000,-

Memohon beasiswa dari ITB pada jamanku itu relatif mudah, hanya bilang di meja penagihan uang saat pendaftaran masuk, "Saya memohon beasiswa". Lalu isi formulir, tunggu hasil.



Tahun 2001.


Aku sudah jadi mahasiswa ITB. Aku mengajukan lamaran beasiswa dari perusahaan migas di Aceh. Syarat transkrip, surat rekomendasi, dll, pokoknya lengkap, deh, kukirim. Ada 100 orang yang akan menerima beasiswa, aku termasuk 200 kandidat yang akan diseleksi dengan wawancara.

Saat itu, aku tidak merasa siap dengan wawancara. Mentalku lagi jatuh, karena patah hati, terlalu sibuk kerja praktek, dan terlalu sibuk dengan kegiatan organisasi. Surat panggilan wawancara juga kaga sampai, aku dapat info panggilan wawancara via telpon "Lusa wawancara". Selain itu, situasi politik Indonesia lagi panas. Gus Dur hendak dijatuhkan dan buruh di Bandung sedang ditekan serta banyak demo BBM. Kawan-kawanku bahkan dipukuli dan ditahan polisi. Pikiranku ruwet.

Hari wawancara tiba. Aku salah kostum. Yang lain pada pakai kemeja lengan panjang, celana panjang dari katun, dan sepatu resmi. Sedangkan aku pakai baju kaos berkerah warna hijau lumut, celana kargo warna hijau lumut, dan sepatu basket warna hitam dengan jendolan oranye. Tambah hancur, dengan tampangku yang kusut.

Hari itu, aku bertemu kandidat lain dari banyak universitas. Ada yang ketua BEM STT Telkom, ketua ini-itu, dll. Sedangkan aku ikut banyak organisasi tapi hanya sebagai penggembira, kecuali ada satu organisasi jadi Bendahara. Aku jadi agak-agak minder.

Aku diwawancara dua orang. Ketika duduk, aku menyenggol gelas lalu isinya tumpah mengenai si pewawancara. Lalu aku jadi grogi. Pertanyaan wawancara yang kuingat adalah apa yang akan kulakukan 5 tahun mendatang. Karena saat itu aku masih goblok, aku jawab tidak tahu. Lalu, aku lihat dia membulati nilai Sistem Kendaliku yang D pada transkrip, lalu bertanya tentang kuliah, nilai, dsb. Andai waktu itu, aku sudah ikut milis beasiswa@yahoogroups.com mungkin ceritanya beda.

Hasilnya kuketahui sebulan (atau 2 bulan?) kemudian. Aku tidak dapat beasiswa itu. Dari situ aku belajar banyak hal tentang wawancara:

1. siapkan diri untuk menghadapi pertanyaan tentang rencana ke depan (5, 10, 15 tahun), prestasi akademik, pengalaman organisasi, dll.

2. jangan salah kostum

3. jangan patah hati saat wawancara, karena efeknya mantap dalam menurunkan kepercayaan diri.

4. Jangan menumpahkan minuman pewawancara.



Akhir tahun 2002 dan awal tahun 2003.


Aku masih dalam masa patah hati. Saat itu, aku pusing dengan TA (Tugas Akhir) yang belum kelar. Aku mencoba untuk selesai TA, untuk sidang Januari dan wisuda Februari. Tapi aku mencoba mendaftar beasiswa DAAD Siemens 2003. Semua syarat kecuali bukti kelulusan dan bukti pendaftaran ke Uni di Jerman kukirim ke DAAD Jakarta.

Waktu itu, aku ingin juga bingung mau pilih jurusan apa di uni mana, karena banyak opsi. Minatku saat itu tertuju pada jurusan Mekatronika TUHH (di Hamburg) dan Automotive Engineering FH Eslingen.

Januari 2003, aku ditelpon Ibu Endah, DAAD Jakarta, dia minta syarat tanda lulus. Aku tidak bisa mengirimkannya karena belum lulus. Aku juga ternyata kaga bisa sidang Januari, malah stress sampai sesak napas, halusinasi, dll. Aku email Ibu Endah, dan bilang aku batal mengajukan lamaran beasiswa karena banyak syarat yang tidak bisa kuturuti.

Hasilnya, kawan-kawanku yang punya IPK 3,7 dan 3,8 pada dapat beasiswa DAAD Siemens. sedangkan aku tidak dapat beasiswa itu. Aku belajar lagi beberapa hal.

1. melamar beasiswa butuh persiapan dan perencanaan matang, jangan asal-asalan, nanti buang uang buat pos.

2. aku harus tahu apa yang kumau, maksudnya harus punya tujuan jelas mau jurusan apa dan di mana.

3. jangan patah hati saat melamar beasiswa, karena efeknya mantap dalam menurunkan percaya diri dan membuat orang kehilangan tujuan hidup.

4. jangan obral janji kepada pemberi beasiswa, bakal lulus bulan depan padahal belum tentu.



Akhir tahun 2003 dan awal tahun 2004.


Aku sudah tidak patah hati lagi, malah sedang jatuh cinta (fotonya bisa di lihat di friendsterku). Aku juga sudah lulus dari Teknik Elektro ITB menjadi Sarjana Teknik, spesialisasiku Kontrol. Aku juga sudah punya Zertifikat Deutsch, suatu sertifikat kemampuan berbahasa Jerman tingkat dasar. Aku pun berlangganan milis beasiswa. Persiapanku untuk melamar beasiswa lebih matang, namun masih kurang mantap.

Kali ini, aku mencoba beasiswa DAAD Siemens lagi, ditambah coba beasiswa ASEAN di NTU (Nanyang Technological University, Singapura). Tapi ada aja ketidaksiapanku, yaitu TOEFL (dan GRE).

Aku kaga pede dengan TOEFL. Aku latihan TOEFL. Aku coba ikut kursus GRE. Dapat beberapa pandangan tentang cara menulis yang baik. Tapi saat itu, aku lagi di persimpangan jalan, aku lagi bingung dengan tujuan hidup. Aku lagi keracunan MLM (multi level marketing). Aku bingung mau studi lanjut atau serius MLM. Jadinya waktu belajar buat TOEFL kurang. Aku juga telat ujian TOEFL.

Gara-gara TOEFL telat, maka formulir pendaftaran ke Uni juga kukirim kaga pas dengan tenggat waktu (deadline) beasiswa DAAD. Tidak telat bagi Uni di Jerman, tapi cukup telat buat DAAD.


Hasilnya?

Aku sukses masuk waiting list, kaga dapat beasiswa DAAD Siemens. Sialnya, lawan-lawan politikku di kampus pada dapat. Lalu beberapa bulan kemudian datang surat berturut-turut:

Dari TUHH (Hamburg), aku diterima di jurusan Telekomunikasi untuk Oktober 2004, kaga diterima di Mekatronika. Sebelumnya aku daftar 2 jurusan tersebut di sana.

Dari Uni Duisburg-Essen, aku diterima di jurusan Kontrol untuk Oktober 2004. Tahun sebelumnya, jurusan ini kaga masuk dalam tawaran beasiswa DAAD Siemens.

Dari Uni Bremen, aku diterima di jurusan Otomasi untuk April 2005. Tahun sebelumnya jurusan ini juga kaga masuk tawaran beasiswa DAAD Siemens.

Dari NTU Singapura, aku diterima di jurusan Kontrol, tapi kaga dapat beasiswa.

Gagal lagi deh dapat beasiswa. Tapi setidak-tidaknya aku sudah tahu tambah pede karena ternyata aku bisa juga diterima di perguruan tinggi di luar negeri. Aku belajar lagi beberapa hal:


1. aku harus tahu yang kumau.

Aku tahu bahwa aku punya mimpi studi lanjut di bidang kontrol. Namun aku masih belum tahu tujuan hidup jelas, mau jadi pedagang MLM atau tetap ikuti mimpiku studi lanjut.


2. jatuh cinta membuatku kreatif dan makin percaya diri


3. kepercayaan diriku tumbuh, saat sadar bahwa aku bisa diterima di Uni, walaupun gagal dapat beasiswa.



Akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006.


Aku bukan mahasiswa lagi, aku jadi dosen di Unika Soegijapranata Semarang. Mimpiku untuk studi di luar negeri tetap membara. Kali ini, masalahnya bukan dari diri sendiri (seperti tidak percaya diri), tapi dari luar. Kesibukan kerja, sistem kerja, dan rekan-rekan kerja kadang-kadang melakukan sesuatu hal yang menghambat orang untuk maju.

Berkat dukungan Bapakku dan kawannya yang tinggal di Jerman, semangatku tumbuh. Kawan bapakku jauh-jauh dari Neuwied, Jerman menelponku untuk menyemangatiku serta memberi tips-tips via email cara menulis statement of purpose yang benar.

Aku lalu mencoba beasiswa DAAD dan KAAD. Aku tidak peduli dengan tantangan dan hambatan. Selain itu, aku juga dapat kiriman surat dari Uni Bremen bahwa aku tetap diterima untuk April 2006 di jurusan Otomatisasi.

Untuk beasiswa DAAD, aku harus mengirim dokumen ke DAAD Jakarta dan DIKTI. Untuk beasiswa KAAD, aku harus mengirim email dulu ke KAAD Bonn dan KAAD Jakarta, lalu menunggu balasan berupa formulir.

Aku dipanggil wawancara untuk beasiswa DAAD sekitar Februari 2006. Aku ditanya oleh seorang profesor dari Jerman tentang topik TA milikku dulu. Sial, aku kaga bawa dokumen tentang TA ini. Oh, ya, topiknya tentang identifikasi sistem menggunakan Jaringan Saraf tiruan Recurrent. Untung aku ingat rumusnya sedikit, walau agak-agak salah dikit. Aku gugup sekali.

Aku juga ditanya oleh Dr. Terry Mart dari UI tentang karya ilmiahku selama jadi dosen, juga tentang penulisan dosen pembimbing dalam paper. Aku jawab sekenanya aja. Pertanyaan orang Indonesia memang lebih rumit.

Aku ditanya oleh seorang pegawai DAAD dari Jerman, persiapanku apa aja, darimana tahu jurusan Otomatisasi Uni Bremen, dan apakah aku tahu Bremen. Aku cuma bilang aku tahu via Internet. Tentang kota Bremen, yang kudapat cuma peta bus kota dan Strassenbahn hasil download. Jadi kujawab segitu aja.

Aku ditanya oleh seorang dosen dari Universitas Andalas, mengapa pilih jurusan Otomatisasi, bukankah Indonesia lebih butuh sistem padat karya. Dasar orang Indonesia, ngasih pertanyaan sulit. Aku bilang aja, pabrik-pabrik di semarang, banyak yang pakai sistem otomatisasi.

Aku keluar dari ruangan dengan lemas. Lalu naik busway, sistem transportasi yang kusuka dari Jakarta. Mabuk busway. Kembalilah aku ke Semarang dengan kereta malam. Aku berpikir kayanya kaga bakal dapat beasiswa.


Suatu hari, di kala hujan lebat, aku berada di Perpus Unika Soegijapranata, membaca-baca jurnal IEEE sambil bertapa, siapa tahu dapat ide buat penelitian. HP Nokia 5110 tiba-tiba berbunyi. Suara Ibu Fatmawati dari DAAD Jakarta terdengar. Dia bertanya apakah aku mau menerima beasiswa DAAD. Aku jawab, "Maaauuuuuu.....". Mana mungkin kutolak.

Perjuangan berikutnya adalah berhadapan dengan birokrasi dunia kerja dan beberapa rekan kerja usil yang agak menghambat urusanku dengan birokrasi. Kesibukan kerja karena lagi akreditasi juga membuat masalah lebih rumit. Aku juga perlu mengurus visa, pindahan, beres-beres, dan beli Laptop serta cari tempat tinggal di Bremen. Aku hanya sempat berpisah dengan Bapak-Ibuku sekitar 4 hari, dan setengah hari dengan kekasih tercinta. Kaga pakailah syukuran perpisahan, Unika memang tidak memberiku napas.

Tapi yang jelas aku bisa sampai Jerman, Senin, 3 April 2006. Kaga tahu kalau kereta api di Jerman cuma berhenti 2 menit, bukan 30 menit kaya Indonesia. Bisa ketemu sore-sore, Sekretaris Master Office, lalu dapat daftar "things I have to do". Dapat tempat tinggal di Bremen, dalam 3 hari. Kalau bisa bahasa Jerman, gampang dapat tempat tinggal dan semua orang menjadi ramah. Laptopku yang kubeli dari Indonesia cuma bertahan setengah tahun. Terpaksa beli Laptop baru di Jerman. Banyak pengalaman baru di Jerman.



statistik beasiswaku


Formulir beasiswa yang kuisi ada 7, yang sukses dapat beasiswa cuma 2.

Pertama kali mengirim beasiswa buat ke Jerman, Oktober 2002, bisa diterima di Jerman, April 2006. Penantian lama juga.

Akhirnya aku belajar banyak

1. kepercayaan diri penting buat melamar beasiswa, karena pancarannya dibutuhkan dalam wawancara

2. seseorang harus fokus dengan tujuan hidupnya

3. Tuhan memberi sesuatu pada waktu yang tepat.

4. Ternyata aku dapat jurusan yang cocok dengan latar belakang S1, jadinya the right man on the right place.

5. dorongan semangat dari luar kubutuhkan untuk melewati tantangan dan hambatan

6. kesabaran dan ketekunan, diperlukan untuk menantikan kemenangan perjuangan memperoleh beasiswa

7. kegagalan hanyalah umpan balik negatif. Setiap umpan balik negatif memiliki tujuan mencapai hasil yang stabil sesuai keinginan atau tujuan. Ini kupelajari dari sistem kontrol.

8. Perbaikilah selalu diri kita, supaya semakin matang dan tahu tips dan trik berjuang untuk beasiswa.

9. Ikut milis beasiswa



Yah, gitu deh.

2 comments:

  1. nice written..
    *maaf cuma bisa komentar pendek*

    ReplyDelete
  2. boleh dong d share tips2 buat isi formulirnya..

    ReplyDelete